Selasa, 06 November 2012

PERISTIWA BNADAR BETSI

Tugu Sudjono, Simbol Revolusioner yang terlupakan


Mereka yang pernah belajar sejarah G30S/PKI ketika duduk di bangku SMA, saat pemerintahan orde baru, pasti pernah tahu nama Letda (Anumerta) Sudjono. Sosok ini tercatat sebagai salah satu pahlawan revolusioner yang menjadi korban keganasan pertikaian berdarah bangsa ini di tahun 1965.
Mereka yang pernah belajar sejarah G30S/PKI ketika duduk di bangku SMA, saat pemerintahan orde baru, pasti pernah tahu nama Letda (Anumerta) Sudjono. Sosok ini tercatat sebagai salah satu pahlawan revolusioner yang menjadi korban keganasan pertikaian berdarah bangsa ini di tahun 1965. Perkebunan Bandar Betsy di Kec. Bandar Perhuluan, Kabupaten Simalungun, pun menjadi demikian terkenal, sebagai lokasi peristiwa berdarah yang merenggut nyawa perwira pengaman kebun itu.

Letda Sudjono yang kala itu berpangkat Peltu, berdasarkan teks resmi kala itu, tewas dikampak sekelompok orang dari Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan onderbouw PKI. Saat itu, Sudjono berusaha mempertahankan lahan perkebunan dari penjarahan massa PKI. Peristiwa yang dikenal dengan "Peristiwa Bandar Betsy" merupakan aksi sepihak PKI dan onderbouwnya untuk merebut kekuasaan yang sah.

Aksi-aksi sepihak PKI dan organ-organ resminya, mencapai klimaks pada tanggal 30 September 1965 dalam bentuk kudeta berdarah. Tujuh jenderal TNI-AD di Jakarta dan beberapa lainnya di berbagai daerah menjadi korban keganasan PKI. Sejumlah sejarahwan menyingkap pertikaian sesama anak bangsa itu memakan korban tak kurang dari 300 ribu nyawa di seluruh negeri. Belakangan, pemerintah Orde Baru menobatkan para jenderal korban PKI itu sebagai 'Pahlawan Revolusi.'

Sebagai kenangan kepada generasi mendatang, tugu peringatan para pahlawan revolusi itu didirikan dengan biaya yang tak kecil. Satu di antaranya adalah 'Tugu Sudjono.' Melihat keberadaan monumen itu, Senin (13/8), diperkirakan miliaran rupiah uang negara mengucur, saat proses pembangunan berlangsung. Terletak di lahan yang luasnya diperkirakan 0,5 Ha, tugu Sudjono di awal pembangunannya terasa begitu megah.

Model bangunan Tugu Sudjono sama dengan Monumen Tugu Tujuh Pahlawan Revolusi di Komplek Lubang Buaya, Jakarta. Bedanya, agak ke depan dari monumen itu ada patung Letda Sudjono, seolah memimpin ke tujuh jenderal itu. Harus diakui, tugu itu menyimpan aura mistis dan kharisma bagi khalayak yang mengunjunginya.

Tapi cerita itu ada di era Orde Baru. Kini, tugu itu bagai monumen tanpa arti sama sekali. Simbol revolusioner rakyat Sumatera Utara itu, seolah kesepian, karena tak lagi, mendapat perhatian. Jalan menuju monumen itu, sejak dari Perkebunan Laras PTPN IV hingga ke lokasi yang diperkirakan berjarak 15 km, sudah tak lagi mulus, karena 2/3 dari panjang jalan, kondisinya kupak-kapik. Terutama di areal Perkebunan Bandar Betsy. Pihak perkebunan terkesan tak peduli dengan kondisi jalan itu.

Di areal Tugu Sudjono, perasaan pun jadi terenyuh, karena monumen itu seakan menangis dengan kondisinya yang tak terurus. Monumen megah itu, terlihat kusam dan beberapa bagiannya sudah dipenuhi lumut. Taman yang mengelilingi tugu itu, berubah menjadi tumbuhan liar yang mengganggu pemandangan. Sementara ilalang menyeruak liar di berbagai tempat, dengan ketinggian hampir sepinggang.

Kamar mandi yang berada persis di depan tugu, bak rumah hantu. Sedangkan pondok peristirahatan yang dibuat untuk pengunjung resmi maupun biasa, dalam kondisi hendak rubuh. Lantai areal berlapis batu conblok, sebagian sudah menghitam dan di sela-selanya ditumbuhi rerumputan tebal.

Beberapa warga di sekitar lokasi, mengakui sejak beberapa tahun belakangan monumen itu tak lagi dipelihara. Jika sebelumnya banyak pelajar yang mau berkunjung ke monumen itu, kini sudah tak ada lagi. Karena semua fasilitas yang memungkinkan pengunjung untuk berlama-lama di sana tidak tersedia. Tugu Sudjono, saat ini, tak lebih dari bangkai sejarah yang kenangan tentangnya perlahan mulai pupus.

Era Reformasi, ternyata tidak mau berkompromi pada simbol-simbol hegemoni sebelumnya. Karena reformasi juga tengah membangun simbol-simbol hegemoni untuknya. Meski simbol hegemoni itu untuk dua potong kata 'pahlawan revolusi.' Lalu, di usia RI ke-62, adakah istilah lain yang tengah dibangun rezim reformasi sekarang ini? Sejarah kelak akan mencatatnya.

Senin, 20 Juni 2011

next 2...PERIODISASI KONFLIK DI DAERAH POSO-MOROWALI




Dalam suasana panas beginilah, Bendahara Majelis Sinode GKST, Oranye Tadjodja (58), dibunuh setelah disiksa di bangunan bekas Hotel Kartika di tepi Jalan Raya Trans Sulawesi di Kelurahan Kayamanya pada hari Sabtu siang, 15 November 2003. Ketua DPC Partai Damai Sejahtera (PDS) Kabupaten Poso itu dibunuh bersama Yohannes (“Butje”) Tadjodja, keponakan yang juga jadi sopirnya waktu itu, yang lehernya hampir putus ditebas. Nampaknya untuk mengalihkan jejak, kelompok pembunuhnya melarikan mobil Toyota Kijang DN 440 E milik almarhum bersama jenazah kedua korban ke Kecamatan Poso Pesisir dan meninggalkannya di lembah Sungai Puna. Dengan demikian, bisa timbul kesan bahwa tokoh Kristen itu dibunuh oleh massa Muslim di Poso Pesisir yang sedang marah akibat ditembaknya seorang warga mereka, Hamid alias Ami, oleh satuan Brimob yang datang menangkap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam penyerangan di Poso Pesisir tanggal 12 Oktober 2003 (RKP News, 16 Nov. 2003; Suara Pembaruan, Bernas & Manado Post, 17 Nov. 2003; sumber-sumber lain). Dugaan itu masuk akal, lantaran semangat baku balas dendam sedang menggelora kembali. Ribuan warga Muslim yang berdemonstrasi di depan Markas Polres Poso pada hari Minggu, 16 November, memprotes penembakan Hamid dan menuntut pembebasan dua orang kawannya, Irwan bin Rais dan Sukri. Mereka melampiaskan kemarahan mereka kepada Deny Lingkuwa (22), seorang warga Desa Wawopada, Kabupaten Morowali yang baru saja lulus dari testing calon pegawai negeri sipil di Departemen Agama Poso. Pemuda malang berambut cepak itu tewas dianiaya massa yang keliru menyangka dia intel polisi. Motor Yamaha Shogun yang korban kendarai hangus dibakar massa. Begitu pula sebuah motor sumbangan Menko Kesra Jusuf Kalla yang diparkir di depan Markas Kompi IV Pelopor Brimob Polda Sulteng di Kelurahan Mo-engko di pinggiran barat kota Poso (RKP News, 16 Nov. 2003; Radar Sulteng, 16 Nov. 2003; Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Komentar & Manado Post, 17 Nov. 2003; sumber-sumber lain). Sementara itu, dua bentuk teror, yakni bom dan penembakan misterius, terus terjadi. Sebuah bom juga meletus di daerah Lembomawo ketika umat Kristen di sana sedang menyiapkan diri untuk merayakan Natal, 25 Desember lalu. Untunglah tidak sampai ada korban. Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah bahwa gangguan-gangguan keamanan itu tidak sampai membakar kembali semangat baku serang di antara kedua komunitas agama, yang sesungguhnya mewakili masyarakat asli dan masyarakat pendatang, atau mewakili yang tersisih dan yang menjadi kelompok dominan di bidang politik, ekonomi dan budaya.

2 komentar:

  1. Sebaiknyalah tugu tsb & sekitarnya senantiasa dirawat agar generasi penerus bangsa ini dpt terus waspada & mengerti ttg sejarah di daerahnya

    BalasHapus
  2. Bahaya laten komunis masih terus menghantui, jangan sampai peristiwa seperti itu terulang kembali. Tetap mawas diri dan waspada akan pergerakan pki

    BalasHapus